Aku seorang petugas di
kamar mayat!
Tugasku sehari-hari
adalah membersihkan tubuh-tubuh yang baru saja selesai meregang nyawa itu agar
tidak terlalu cepat membusuk. Kumandikan mereka dengan lembut, kuberi wewangian,
dan kubalut tubuh telanjang mereka agar tertutuplah segala keburukan.
Mayat-mayat itu kuperlakukan
bak seorang raja. Bukan! Bukan karena aku merasa bergairah melihat tubuh-tubuh
tanpa nyawa itu menjadi tak berdaya sehingga aku bisa melakukan apapun pada
mereka seperti tiap kali aku melihat ketakberdayaan perempuanku sehabis kami
bersenggama. Tapi aku sangat memuja kematian.
Jika kau mati, semua
beban penanggungan dunia terlepas dari pundakmu. Kau akan kembali pada permulaan:
ketiadaan.
Aku merindukan kematian.
Kupikir rasanya akan lebih indah dibandingkan orgasme.
***
Lelaki di depanku ini
bodoh! Dia merindukan kematian. Bah!
Apa yang kau tahu tentang
mati selain ketiadaan? Kau pikir eksistensimu begitu saja melebur ketika kau
mati? Tidak ada awal dan akhir setelah kau mati. Waktu serasa tak berbatas. Tak
ada gelap, namun cahaya pun tak tampak. Kau masih ada. Namun kau tak tahu di
mana. Kau hanya bisa merasakan kosong.
Itukah yang kau bilang
lebih indah dari orgasme? What the hell?!
Aku rela menukar nyawa kita asalkan masih bisa merasakan sensasi seks itu di
lubang kemaluanku. Daripada berada di sini, aku tak tahu apa yang akan terjadi,
dan apa yang harus dilakukan.
Kau tahu kalau menunggu
itu membosankan?
Tak ada yang bisa kau
lakukan. Berharap segera ada akhir, adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan
ketika menunggu. Dan aku tak mau menghabiskan sisa hidup hanya dengan menunggu.
Eh, sebentar! Aku kan sudah mati, tentu saja!
Aku merindukan kehidupan.
Aku ingin kembali orgasme.
***
Dasar manusia!
Mereka tidak pernah
bersyukur atas apa yang mereka dapatkan. Ada yang tak mensyukuri segala bentuk
penghidupan, dengan demikian memilih mati. Namun ada juga yang terlalu
mencintai hidup, sehingga lupa jika mereka akan mati.
Hidup dan mati hanya rangkaian
perjalanan yang keduanya harus kau tempuh. Tak bisa kah kau mensyukurinya.
Alih-alih menggerutu, kenapa tak kau maksimalkan saja amunisimu dalam
menghadapi fase itu?
Tapi aku tak punya hak
untuk menjustifikasi. Tuhan mengutusku hanya untuk menjalankan perintah-NYA,
bukan untuk menilai manusia.
Hanya saja aku masih
ingin tertawa pada kepolosan dan keserakahan manusia.
Mantap ka ela;)
ReplyDelete