Wednesday, November 11, 2015

Kembali Pada Awal

"Kau kenapa lagi?"

Tanya itu bernada marah. Namun di satu sisi kau rasakan juga kebosanan pada intonasinya.

"Aku mau kembali pada awalku," jawabku sekenanya.

"Semua orang juga lelah. Tolong jangan bersikap manja," katanya menimpali.

Ya, aku tahu. Bukan hanya aku orang yang lelah di dunia ini. Bukan hanya aku yang merasa kebosanan di dunia ini. Bukan hanya aku yang pernah menderita di dunia ini. Bukan hanya aku...

Tapi aku lelah. Aku mau kembali pada awalku! Itu saja.

"Kau tahu kan kalau para singa itu selalu lapar setiap kali melihatmu terlentang. Cuma kau yang mampu meredamkan gairah dan ambisi mereka. You are the lioness. Kau bisa menjinakkan mereka," katanya lagi. Aku melotot memandangnya.

"Mereka itu pejantan. I am not everything they all need. Sekali tiada, mereka mampu temukan yang sepuluh kali lipat lebih merangsang daripada aku."

Dia tertawa sekeras-kerasnya, sejadi-jadinya. Hingga akhirnya dia batuk dan hampir sesak nafas.

"Manis, kau yang lebih membutuhkan mereka. Kau sudah sangat menikmati persetubuhan bukan? Mampukah kau hidup tanpa mengandalkan lubang di sela pahamu itu?" tanyanya lagi.

Aku tertawa sinis.

"Kau pun mampu hidup sampai saat ini tanpa harus menyebarkan benih dari ujung paruh burungmu!" jawabku.

"Sayang.. Itu bukan mauku. Seorang maniak gila yang membuat burungku tak pernah bisa bangun lagi," katanya menimpali.

"Sebab kau bodoh dan pengecut! Siapa yang tak kan mengamuk begitu mereka tahu kau gesekkan burungmu di lubang seorang bocah lelaki?!"

"Ya ya ya... Itu masa lalu. Tak perlu kau ingatkan kepedihan itu padaku. Aku jadi ingin menangis mengenang waktu terindah itu. Setidaknya aku sempat merasakan nikmatnya. But, here I am.. Still alive and survive."

Aku tertawa meremehkannya lagi.

"Tapi, Sayang, aku berbeda darimu," lanjutnya. "Kujalani takdir sebagaimana adanya karena aku memang tak bisa menyalurkan gairahku lagi. Bagaimana denganmu? Bisakah kau hidup?"

Aku kembali menatap ke depan dengan tatapan nanar. Ya, mungkin dia benar!

Begitu nikmat rasanya saat percumbuan itu terjadi. Deru nafas saling memburu saat aku dan mereka bercinta. Bahkan ketika jari-jari kami saling menari di antara lekuk tubuh yang telah menggigil karena tak sanggup menanggung perseteruan itu.

Ya, mungkin dia benar! Aku memang tak kan sanggup meninggalkannya. Percumbuan itu, begitu penuh sensasi yang membuatku semakin hidup. Aku menginginkannya, walau aku jijik dengan tubuhku sendiri.

"Tetap saja, aku mau kembali pada awalku," akhirnya aku memutuskan. Aku kemudian berjalan pergi meninggalkan dia.

"Kau memang tak bisa hidup sepertiku," katanya lagi untuk terakhir kali.

Ya, aku tahu... Dia memang benar. Aku tak bisa hidup sepertinya dengan menahan semua gejolak itu.

Itu sebabnya, esok pagi warga sekitar menemukanku tergantung dengan lidah menjulur di cabang pohon tanjug tertua di kampung.

No comments:

Post a Comment